ObYRbHsSqgzBZuI04SOtu7icauKRhA6KpFA1ikVp
Bookmark

Sindikat Sisa Semalam dan Misi Musikalisasi Bahasa Lampung

INFOBDL---Di tengah arus globalisasi dan dominasi budaya populer yang makin masif, ada satu pertanyaan besar yang kerap terngiang: masihkah anak muda peduli dengan bahasa daerahnya sendiri? Di Lampung, jawabannya perlahan mulai ditemukan, dan itu datang dalam bentuk musik yang soulful, jujur, dan sangat relatable. Lewat tangan dingin para musisi lokal yang tergabung dalam Sindikat Sisa Semalam, bahasa Lampung kembali mendapatkan panggung—bukan sebagai simbol nostalgia semata, tapi sebagai identitas yang kekinian dan penuh warna.

Musik sebagai Media Perlawanan Budaya

"Temegei di Tanah Sayan", sebuah konser budaya yang digelar awal 2024 lalu di Vill Garden, Bandar Lampung, jadi bukti nyata bahwa musik bisa jadi medium paling ampuh untuk menghidupkan kembali bahasa daerah yang mulai meredup. Event ini bukan sekadar konser biasa. Ini adalah gerakan. Sebuah movement kultural yang menggandeng berbagai entitas kreatif seperti Sindikat Sisa Semalam, Orkes Bada Isya, dan Memore, serta didukung penuh oleh Dinas Pariwisata Provinsi Lampung dan jaringan komunitas seperti Swaramas Soundsystem, Swarna Creative, hingga Wize Network.

Apa yang mereka bawa ke atas panggung? Bukan hanya lagu. Tapi narasi. Identitas. Dan tentu saja, bahasa Lampung yang dilagukan dengan beat hip-hop, sentuhan lo-fi, dan energi cross culture yang khas.

Kenapa Bahasa Lampung Makin Jarang Dipakai Anak Muda?

Ini bukan sekadar masalah di Lampung. Hampir semua bahasa daerah di Indonesia sedang menghadapi nasib serupa. Tapi, di Lampung, pergeseran ini terasa signifikan. Sebuah studi oleh Badan Bahasa Kemendikbudristek mencatat bahwa penggunaan bahasa Lampung di kalangan muda terus menurun tiap tahunnya. Di kota-kota besar seperti Bandar Lampung, hanya sekitar 30% anak muda yang masih aktif menggunakan bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa alasannya?

  1. Bahasa Lampung tidak diajarkan secara konsisten di lingkungan rumah.

  2. Stigma kuno dan kampungan terhadap bahasa daerah masih ada.

  3. Bahasa Indonesia dan bahasa Inggris dianggap lebih “modern” dan “berkelas”.

  4. Tidak banyak role model dari kalangan anak muda atau publik figur yang menggunakan bahasa Lampung dalam konten mereka.

Dalam konteks inilah, kehadiran Sindikat Sisa Semalam terasa begitu penting.

Sindikat Sisa Semalam: Musik, Bahasa, dan Identitas

Band ini bukan pendatang baru dalam dunia musik indie. Proyek kolaboratif yang melibatkan 'Kew' Armand (FourTwnty, Beage) di bagian musik dan produksi, 'Awan' Abunadi (My Pants Getting Wet, The Syalala) sebagai vokalis, serta Rahman Utara (Udara) dengan warna vokal dan permainan ukulelenya, menghadirkan nuansa musik yang nggak cuma enak didengar tapi juga menyentuh akar budaya.

Mengusung genre hip-hop lo-fi dengan rasa pop, mereka menyanyikan lagu-lagu berbahasa Lampung secara total. Mulai dari cover version lagu seniman lokal, hingga rilisan single orisinal seperti “Hikayat Bujang” yang dirilis tahun 2023 lalu—semuanya bisa dinikmati di kanal-kanal musik digital seperti Spotify dan Apple Music.

Dengan vibe yang chill tapi penuh makna, Sindikat Sisa Semalam berhasil menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini, antara tradisi dan modernitas. Musik mereka menjadi ruang aman bagi anak muda untuk mengenal bahasa Lampung tanpa merasa dikuliahkan atau dihakimi.

Dari Lirik ke Aset Digital: Menjaga Warisan Lewat Teknologi

Salah satu langkah keren yang juga mereka lakukan adalah membantu digitalisasi karya milik almarhum Syaiful Anwar, musisi dan seniman Lampung yang karyanya dulu lebih banyak dikenal secara lokal. Lewat kerja sama dengan Sitesa Pro, lagu-lagu beliau didaftarkan menjadi aset digital melalui jalur resmi yang diakui hukum. Hasilnya? Royalti bisa terus mengalir untuk ahli waris, dan karyanya tetap lestari dalam bentuk yang relevan di era digital.

Langkah ini juga bisa jadi blueprint bagi seniman daerah lain untuk memastikan karya mereka tidak hilang ditelan zaman, apalagi tanpa meninggalkan jejak yang bisa dimonetisasi.

Sampai Mana Bahasa Lampung Dipopulerkan?

Kalau dilihat dari jangkauan, Sindikat Sisa Semalam memang belum masuk ke panggung nasional seperti Java Jazz atau Synchronize Festival. Tapi keberadaan mereka di skena musik digital sudah cukup menonjol, terutama di wilayah Sumatera dan komunitas penikmat musik lokal. Lagu-lagu mereka mulai masuk playlist Spotify yang dikurasi untuk genre indie dan musik daerah. Bahkan, beberapa media seperti InfoBDL, Lampung Post, dan beberapa media lainnya pernah mengulas gerakan mereka.

Yang lebih penting dari semua itu: mereka berhasil membuat anak muda ngomongin bahasa Lampung lagi—di media sosial, di tongkrongan, bahkan di TikTok. That’s a cultural shift.

Harapan dan Langkah Selanjutnya

Gerakan semacam ini perlu didukung, baik oleh pemerintah, komunitas, maupun kita sebagai pendengar. Ada beberapa cara agar upaya pelestarian bahasa daerah makin masif:

  • Integrasi bahasa Lampung ke dalam konten digital populer (YouTube, Instagram, podcast).

  • Workshop kreatif musik dan bahasa di sekolah-sekolah menengah atas.

  • Kolaborasi dengan content creator dan influencer lokal.

  • Dan yang paling simpel: mulai dari diri sendiri. Pakai bahasa Lampung, walau hanya satu-dua kata, dalam percakapan harian.

Menurut data UNESCO, hampir 40% dari 7.000 bahasa yang ada di dunia kini terancam punah. Indonesia, dengan ratusan bahasa daerah, menjadi salah satu negara dengan risiko kehilangan bahasa terbanyak jika tidak ada intervensi budaya yang aktif. (Sumber: UNESCO Atlas of the World’s Languages in Danger).

Saat Bahasa Jadi Musik, Musik Jadi Gerakan

"Temegei di Tanah Sayan" bukan cuma konser. Ia adalah perayaan. Perayaan keberanian untuk berbeda. Untuk tetap memegang teguh akar, di saat semua orang sibuk mengejar tren. Sindikat Sisa Semalam dan ekosistem kreatif di sekelilingnya telah membuktikan bahwa bahasa daerah bukanlah beban. Ia bisa jadi karya. Ia bisa jadi beat. Dan ia bisa membuat orang bergoyang—sambil tetap mengingat siapa dirinya.

Kalau kamu bangga jadi orang Lampung, atau bahkan hanya sekadar ingin tahu lebih banyak tentang kekayaan budaya daerah ini—mulailah dari musik. Karena seperti kata pepatah: “Apa yang tak bisa diucapkan, bisa dinyanyikan.”

Dengarkan
Pilih Suara
1x
* Mengubah pengaturan akan membuat artikel dibacakan ulang dari awal.
Posting Komentar